Senin, 02 Maret 2015

Analisis Unsur Intrinsik Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang Masalah
Sastra adalah hasil cipta manusia dengan menggunakan bahasa sebagai medianya, bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, serta mengandung pesan yang bersifat relatif. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusia, sosial, maupun intelektual, dengan caranya penyampaian yang khas.
Karya sastra lahir karena dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya yang menaruh perhatian serius terhadap manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang waktu (Sugiantomas, 2012: 1).
Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyususan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola struktural karya sastra. Ke dalamnya dapat digolongkan tiga bentuk; puisi, prosa, dan drama. (Panuti Sudjiman, 1984 : 12  (dalam Sugianto Mas : 2010).
Prosa fiksi menurut Sudjiman adalah cerita yang mempunyai tokoh dan alur, yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi dalam ragam prosa (Sugianto Mas, 2010). Novel merupakan salah satu contoh bentuk dari karya prosa fiksi. Unsur-unsur yang terdapat pada novel adalah; tema, alur, tokoh dan perwatakan, latar atau setting, titik pengisahan atau juru cerita, gaya pengarang, dan amanat.
Maka dari itu, dari keterangan di atas merangsang penulis untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana.

1.2.  Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan mencoba merumuskan masalah sebagai berikut: 
1.     Apa tema pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 
2.      Bagaimana alur/plot pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 
3. Siapa tokoh pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana dan bagaimana perwatakannya? 
4.  Dimana, kapan, dan bagaimana latar/setting pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 
5.      Bagaimana titik pengisahan pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 
6.   Bagaimana gaya pengarang pada Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana dan gaya   bahasa apa saja yang digunakan oleh pengarang?
7.      Apa amanat pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana?

1.3.  Tujuan Penelitian
            Dalam penelitian ini, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Ingin mengetahui tema pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 

2.      Ingin mengetahui alur/plot pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 

3.   Ingin mengetahui tokoh dan perwatakan pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 

4.      Ingin mengetahui latar/setting pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 

5.  Ingin mengetahui titik pengisahan pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 

6.      Ingin mengetahui gaya pengarang dan gaya bahasa yang digunakan pengarang pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana? 

7.      Ingin mengetahui amanat pada novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana?

1.4.  Manfaat Penelitian
            Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan akan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Manfaat Teoritis
1)      Hasil  penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan dibidang ilmu sastra, khususnya prosa fiksi jenis novel. Selain itu diharapkan dapat menambah pembendaharaan teori mengenai unsur-unsur intrinsik novel.

 b.      Manfaat Praktis
  1)      Bagi peneliti, hasil penelitian ini merupakan ajang pembelajaran untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi penyusunan skripsi di masa mendatang.
2)   Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan tingkat apresiasi terhadap sebuah karya sastra khususnya novel, serta dapat bermanfaat sebagai bahan penunjang pembelajaran/referensi baik untuk tingkat SMP, SMA, maupun tingkat perguruan tinggi.


 BAB II
LANDASAN TORI
2.1 Pengertian Sastra
            Dilihat dari segi ide atau persoalan, sastra merupakan sesuatu yang kompleks, merupakan sesuatu yang bersangkut paut dengan banyak segi, misalnya cinta, peradaban, moral, cita-cita, kemauan, watak dan bentuk-bentuk lain dari kehidupan manusia pada umumnya. Masalah-masalah yang di hadapi dan ditanggapi sastrawan bukan benda mati, melainkan masalah-masalah manusia dan hidupnya. Sastra berurusan sebagaimana ilmu berurusan dengan alam.
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1230) arti kata sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.
            Secara etimologi kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta, dibentuk dari akar kata sas dan -tra. Sas mempunyai arti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk’; sedangkan -tra mempunyai arti ‘alat, atau sarana’. Karena itu, kata sastra dapat berarti ‘alat untuk mengerjakan atau buku petunjuk’. Dengan arti ini, dalam bahasa Sansekerta dapat dijumpai istilah Silpasatra yang berarti ‘buku arsitektur’, dan Kamasastra yang berarti ‘buku petunjuk seni bercinta’. (Sugianto Mas, 2012:7).
Secara harfiah kata sastra berarti ‘huruf, tulisan, atau karagan’. Lalu karena karangan atau tulisan biasanya berwujud buku , maka sastra berarti juga ‘buku’. Itulah sebabnya, dalam pengertian kesusatraan lama, istilah sastra berarti buku, baik yang berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah, maupun peraturan dan undang-undang.
Dalam perkembangan selanjutnya, kata sastra mendapat imbuhan su, yang dalam bahasa jawa berarti ‘baik atau indah’. Dengan demikian, pengertiannya berkembang juga menjadi ’buku yang baik dan indah’, dalam arti baik isinya dan indah bahasanya. Kata susastra itu pun berkembang juga dan mendapat imbuhan gabungan (konfiks) ke-an, sehingga menjadi kesusastraan yang berarti ‘hal atau tentang buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya’.
Menurut Supradjarto (1991: 1) suatu karya sastra ada dua kemungkinan, yakni: karya imajinatif dan karya informatif. Karya imajinatif berarti karya tersebut berdasarkan imajinasi penulisnya atau berdasarkan citra penulisnya semata-mata. Walaupun isinya tidak benar-benar terjadi tetapi masuk akal. Sedangkan karya informatif yaitu karya sastra seperti halnya karya imajinatif tetapi penulisannya berdasarkan suatu kejadian besar seolah-olah menjadi insfirasinya.
            Sastra merupakan hasil kreatif manusia yang dituangkan kedalam media bahasa, baik lisan maupun tulisan. (Sugianto Mas, 2012: 9).
            Karya sastra lahir karena dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya yang menaruh perhatian serius terhadap manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang waktu (Sugiantomas, 2012: 1).
            Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sastra adalah sebuah karya imajinatif dari hasil pemikiran manusia yang disampaikan secara khas, mengandung pesan yang bersifat relatif, mengandung nilai-nilai kebaikan yang dituangkan ke dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis.

2.2. Bentuk-bentuk Sastra
            Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyusunan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola struktural karya sastra ke dalamnya dapat digolongkan tiga bentuk, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama Panuti Sujiman (dalam Sugiantomas, 2012: 12).

a.    Puisi
       Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra menggunakan bahasa yang relatif lebih padat dibandingkan dengan bentuk prosa. Pilihan kata atau diksi diperhitungkan dari berbagai segi; makna, nilai imajinasi, irama, rima, dan amanatnya. Oleh karena itu, kata-kata dalam puisi tidak semata-mata berfungsi sebagai alat penyampaian gagasan, melainkan berfungsi pula sebagai bahan.
b.    Prosa fiksi
       Prosa fiksi atau cerita rekaan adalah sebuah karangan bebas yang dimuati imajinasi di dalamnya, mengandung nilai-nilai kehidupan, serta menggunakan bahasa yang khas. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Sudjiman (dalam Sugiantomas, 2013: 60) prosa fiksi atau cerkan adalah cerita yang mempunyai tokoh, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi, dalam ragam prosa. Puisi diciptakan dalam suasana perasaan yang intens yang menuntut pengucapan jiwa yang spontan dan padat. Dalam puisi, aku lirik berbicara tentang jiwanya sendiri artinya mengungkapkan dirinya sendiri. (Waluyo, 1987: 2)
c.     Drama
       Drama adalah adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat  menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan (KBBI, 2008: 342). Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra, yang berwujud susunan dialog dari para tokohnya. Unsur yang terdapat dalam drama pun tidak berbeda jauh dengan prosa fiksi, yakni terdapat tema, alur/plot, tokoh dan perwatakan, ketegangan, latar atau setting, gaya, dan amanat. Namun sebuah naskah drama rasa belum lengkap atau belum utuh apabila belum dipentaskan dalam sebuah seni pertunjukkan.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk sastra adalah bentuk atau gaya dalam menyusun sebuah karangan yang diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yakni; puisi, prosa fiksi, dan drama.

2.3. Prosa Fiksi
            Prosa adalah ragam sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu  terikat oleh irama, rima dan kemerduan bunyi. Prosa lebih dekat dengan bahasa sehari-hari Panuti Sudjiman dalam Sugianto Mas (2012: 38). Sedangkan fiksi yaitu sebuah cerita rekaan atau cerita khayalan.
            Dan dapat disimpulkan bahwa prosa fiksi yaitu salah satu karya sastra yang berbentuk prosa yang diisinya berupa cerita rekaan yang dipengaruhi oleh unsur imajinasi.
            Cerita rekaan adalah salah satu bentuk sastra yang memaparkan terjadinya peristiwa secara rinci mengenai segala hal yang bersangkut paut dengan peristiwa tersebut, seperti siapa tokoh dalam peristiwa itu, bagaimana suasana, bagaimana karakter tokoh tersebut, dimana dan kapan terjadi peristiwa itu, bagaimana proses terjadinya peristiwa itu, apa yang melatarbelakangi peristiwa itu, siapa penutur peristiwa itu, dan bagaimana runtutan perristiwa itu. dalam cerita rekaan yang baik segala hal yang terkait tersebut akan memberi gambaran yang cukup jelas dan disusun dalam satu kesatuan yang utuh dan saling menunjang. (Sugianto Mas, 2013:60).

2.4. Jenis-jenis Prosa Fiksi
            Seperti yang telah dijelaskan bahwa prosa fiksi digolongkan menjadi beberapa jenis yang diklasifikasikan berdasarkan kurun waktu atau jaman, berdasarkan gaya ungkap atau tipenya, berdasarkan isinya, berdasarkan pada pola umum yang telah amat populer dan berdasarkan unsur yang menonjol.
1)      Berdasarkan Kurun Waktu atau Jaman
a.       Dongeng
            Dongeng sering disebut juga folklore, dongeng merupakan cerita rekaan yang pendek dan pada umumnya mengisahkan peristiwa dengan memasukan hal-hal keajaiban dan tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata.
b.      Hikayat
   Hikayat merupakan cerita rekaan lama yang panjang yang mengisahkan peristiwa dengan memasukan unsur keajaiban seperti dongeng. Cerita ini biasanya berpusat pada kehidupan raja-raja, keluarga dan pembantu dekatnya. Unsur keajaiban nampak dari kesaktian para tokohnya dalam menaklukan musuh atau suatu kerajaan lain dan merebut putri-putri cantik.
c.       Cerita Sejarah
Cerita sejarah merupakan cerita tentang raja-raja atau kepala negeri yang biasanya bersandar pada kenyataan sejarah namun tidak seluruhnya merupakan fakta sejarah.
d.      Novel
Novel merupakan cerita rekaan yang menceritakan suatu peristiwa yang luar biasa dalam kehidupan manusia, sebab hanya memuat cerita berdasarkan konflik hidup yang sangat menonjol, sehingga menceritakan tokoh sejak kecil sampai dewasa dianggap tidak perlu. Konflik batin yang mendalam dari para tokoh menjadi sasaran utama cerita.
e.       Cerpen
Cerpen adalah jenis prosa fiksi yang memaparkan cerita secara singkat dan padat, pada dasarnya cerpen tidak jauh berbeda dengan novel. Bedanya tokohnya hanya sedikit, latar/settingnya tidak terlalu banyak, dan alurnya singkat.
f.       Novelet
     Novelet merupakan novel kecil, dari segi kuantitasnya berkisar 60 halaman sampai 100 halaman.
2)        Berdasarkan Gaya Ungkap atau Tipenya
a.       Narasi
   Narasi yaitu tipe cerita rekaan yang gaya pengungkapannya menuturkan atau menceritakan.
b.      Deskripsi
   Deskrpsi yaitu tipe cerita rekaan yang gaya pengungkapannya melukiskan atau menggambarkan secara rinci.
c.       Semi Dramatik
   Semi dramatik yaitu tipe cerita rekaan yang gaya pengungkapannya bercakap-cakap bisa berupa dialog atau monolog.

3)        Berdasarkan Isinya
a.       Roman atau Novel Bertendens
Novel bertendens artinya novel yang isinya ceritanya memiliki tujuan. Misalnya novel berjudul ‘Harimau-Harimau’ karya Muchtar Lubis dan ‘Layar Terkembang’ karya Sultan Takdir Alisyahbana.
b.      Roman atau Novel Sejarah
Roman atau novel sejarah yaitu cerita melukiskan kehidupan tokoh-tokoh cerita dalam suatu masa sejarah atau bersandar pada kenyataan sejarah.


c.       Roman atau Novel Psikologi
Roman atau novel psikologi yaitu cerita yang terpusat pada kehidupan emosional para tokohnya yang menjajaki tingkatan kegiatan mentalnya yang berbeda-beda.
d.      Roman atau Novel Perjuangan
Roman atau novel perjuangan merupakan cerita perjuangan yang dialami tokohnya dalam mencapai cita-cita atau nampak mempertahankan kemerdekaan bangsanya.
e.       Roman atau Novel Sosial
Roman atau novel sosial sering disebut novel masyarakat. Novel ini menceritakan suka-duka kehidupan tertentu dalam lapisan sosial tertentu.
f.       Roman atau Novel Deklamatif
Roman atau novel deklamatif yaitu merupakan cerita yang penuh rahasia dengan penyelidikan yang cukup mendebarkan serta penuh ketegangan bertahap.
g.      Roman atau Novel Anak
Roman atau novel anak merupakan cerita kehidupan anak-anak dengan segala dukanya. Novel ini ada diperuntukkan kepada orang tua sebagai bahan didikan anaknya, ada pula yang diciptakan dengan bahan bacaan anak-anak.
h.      Roman atau Novel Percintaan
Roman atau novel percintaan merupakan cerita yang disusun berdasarkan pokok peroalan cinta. Cerita cinta ini bisa berkembang dalam kehidupan remaja, dewasa, dan keluarga.

 4)  Berdasarkan Pada Pola Umum yang Telah Amat Populer
  a.    Roman atau Novel Populer
Novel populer atau sering disebut novel pop merupakan karya sastra yang dikategorikan sebagai sastra hiburan dan komersial. Novel ini merupakan lawan dari novel sastra atau novel serius sebagai sastra literer. Kategori hiburan dan komersial ini menyangkut oleh penciptaannya, sehingga kualitas sastra menjadi sedikit terabaikan. Tema yang diangkat biasanya persoalan yang biasa saja alias tema kebanyakan yang telah banyak diketahui oleh banyak orang.
b.      Roman atau Novel Serius
Roman atau novel serius disebut juga novel literer merupakan novel bermutu sastra. Disebut novel serius karena keseriusan dalam menjangkau masalah kehidupan manusia yang diungkapkan pengarangnya. Novel ini menyajikan persoalan-persoalan hidup manusia dengan daya tilik yang teliti dan serius, penuh perenungan hakiki manusia yang dalam. Oleh karena itu jenis novel ini biasanya langgeng dan bermanfaat bagi penyempurnaan kearifan hidup manusia, disamping pesona hiburan yang nikmat.

5) Berdasarkan Unsur yang Menonjol
a.       Roman atau Novel Plot
Roman atau novel jenis ini menekankan pada susunan plot sebagai unsur yang paling  ditonjolkan. Dalam novel ini susunan peristiwa dirangkai dengan seksama sehingga mampu menarik perhatian pembacanya.
b.      Roman atau Novel Watak
Roman atau novel watak menekankan pada variasi dan penonjolan karakter para tokohnya. Yang menjadi perhatian pengarangnya adalah manusia-manusia yang berkarakter menonjol, sehingga dalam novel ini unsur lain seperti plot, setting, tema dan yang lainnya tidak begitu diperhatikan.
c.       Roman atau Novel Tematis
Roman atau novel ini sangat mengutamakan ide atau gagasan-gagasan baru sebagai sumber tema. Biasanya pokok-pokok persoalan oleh orang lain tidak pernah terpikirkan mencuat ke permukaan cerita. Tema yang ada sangat unik sehingga mampu menyedot perhatian pembaca dibandingkan unsur lainnya.

2.5. Novel
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 968) novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Berbicara tentang novel tentu ada kaitannya dengan roman. Sebab, seringkali kita bingung dengan pertanyaan-pertanyaan dalam batin mengenai perbedaan antara novel dengan roman. Lalu apa perbedaan yang paling mendasar antara novel dengan roman? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disini akan sedikit membahas mengenai perbedaan antara novel dengan roman.
            Roman sering dikatakan sebagai karangan mengenai kehidupan manusia dengan pengalaman, sifat, adat istiadat, pengaruh ekonomi, politik, kehancuran, keberhasilan, serta pendangan hidup suatu masyarakat seluas-luasnya. Tokoh utama disimpulkan sebagai tokoh yang dimunculkan sejak kecil sampai dewasa bahkan sampai meninggal. Tokoh bawahannya banyak, sehingga memungkinkan terjadinya plot ganda. Kesemua itu diceritakan secara mendalam dan terperinci serta penuh dengan nasehat-nasehat yang langsung dilontarkan oleh para tokoh positifnya.
            Novel sering dikatakan sebagai karangan yang menceritakan suatu peristiwa yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Dikatakan luar biasa sebab hanya memuat cerita berdasarkan konflik hidup yang sangat menonjol, sehingga menceritakan tokoh sejak kecil sampai dewasa dianggap tidak perlu. Konflik batin yang mendalam dari para tokoh menjadi sasaran utama cerita, hal itu menyebabkan plot erat, tunggal, dan menarik.
            Dari penjelasan diatas nampaknya kita dapat menyimpulkan perbedaan antara novel dengan roman, namun saya rasa kita tidak perlu memperdebatkan perbedaan tersebut. Sebab, pada hakikatnya novel dengan roman adalah sama, hanya saja ada sedikit perbedaan dalam mengeksplorasi unsur intrinsik oleh pengarang dalam proses penciptaanya. Saya sangat sependapat dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Sugiantomas (2013: 50) bahwa tidak perlu lagi ada batasan-batasan yang ketat antara istilah novel dengan roman. Batasan-batasan yang kaku malah akan menghambat proses terjadinya apresiasi dalam kehidupan kesusastraan. Orang sering terbelenggu oleh pendefinisian sehingga proses pertemuan dengan karya yang sesungguhnya tidak terjadi. Oleh sebab itu, ada baiknya kedua jenis cerita rekaan ini selanjutnya dianggap sama. Untuk menyebutnya sebaiknya mulai dipopulerkan dengan istilah novel saja.
            Novel berasal dari bahasa latin ‘novellus’ yang diturunkan dari kata ‘novies’ yang berarti ‘baru’. Dikatakan baru sebab novel muncul belakangan dibandingkan dengan bentuk puisi dan drama. Yus Rusmana memunculkan pengertian novel sebagai cerita rekaan yang panjang dan mengisahkan peristiwa rasional. Novel merupakan prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peritiwa dan latar secara tersusun Sujiman (dalam Sugiantomas, 2013: 50).
            Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan segala sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail,  dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks.

2.6. Unsur-unsur Novel
            Unsur pada karya sastra jenis novel terdapat dua unsur, yakni unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik seperti halnya unsur yang terdapat pada puisi dan drama.
1)       Unsur Ekstrisik
Unsur ekstrinsik adalah unsur luar yang berkaitan dengan pengarang, unsur-unsur tersebut antara lain: agama, lingkungan, adat istiadat, psikologi, pendidikan, status ekonomi, dan lain-lain.
2)       Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik yaitu unsur dalam atau unsur yang membangun terciptanya sebuah novel. Unsur-unsur tersebut yaitu: tema, alur/plot, tokoh dan perwatakan, latar/setting, gaya, titik pengisahan, dan amanat.
a.  Tema
Menurut arti katanya tema berarti sesuatu yang telah diuraikan atau sesuatu yang telah ditempatkan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani tithenai yang berarti menempatkan atau meletakkan. Aristoteles yang dianggap sebagai salah seorang tokoh retorika jaman klasik, menegaskan bahwa untuk membuktikan sesuatu mula-mula harus ditentukan dan dibatasi topoi ‘tempat’ berlangsungya suatu pristiwa. Dalam batas-batas yang telah ditentukan tadi, penulis menentukan: manusia, interaksi, dan fakta-fakta lainnya yang menimbulkan atau bersangkutan dengan pristiwa tadi. Sebaliknya dalam retorika modern, setiap pengarang ketika akan menyampaikan sesuatu, mula-mula akan mencari topik yang akan dijadikan landasan untuk menyampaikan maksudnya mengenai topik tersebut.
Menurut Prof. Dr. Gorys Keraf (1994: 107) tema secara khusus dalam sebuah karangan dapat  dilihat dari dua sudut; dari sudut karangan yang telah selesai dan dari sudut proses penyusunan sebuah karangan.
Dilihat dari sudut sebuah karangan yang telah selesai, tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui karangannya. Amanat utama ini dapat diketahui misalnya bila seseorang membaca sebuah roman atau karangan lainnya. Selesai membaca karangan tersebut, akan meresaplah ke dalam pikiran pembaca satu sari atau makna dari seluruh karangan itu. Secara singkat, tema adalah pokok persoalan, atau ide pokok yang tertuang dalam cerita.
Untuk menentukan tema sebuah karya fiksi, haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita seperti halnya yang diungkapkan oleh Gorys Kerap diatas, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Walaupun tema sangat  sulit ditentukan dengan pasti, bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan keseluruhan yang didukung cerita.
Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan, paling tidak pelukisan secara langsung atau khusus. Eksistensi dan atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya penafsiran tema. (Nurgiantoro, 1994: 69).
b.   Alur/Plot
Persoalan tersebut lantas direnungkan dan diolah sedemikian rupa oleh pengarang hingga akhirnya dalam bentuk cerita rekaan. Dengan kemampuan imajinasinya pengarng mencoba menciptakan dunia baru, suasanan tertentu dan sebagainya. Dunia imajinasi tersebut lantas disusun berdasarkan urutan peristiwa.
Peristiwa-peristiwa yang tersusun menjadi cerita tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan terjalin dalam suatu susunan yang sambung menyambung berdasarkan hukum sebab akibat. Ini berarti setiap peristiwa yang tertuang akan mempunyai sebab mengapa terjadi peristiwa itu. Peristiwa itupun akan berakibat pula pada peristiwa berikutnya, begitu seterusnya berlanjut dari peristiwa pertama ke peristiwa lainnya, hingga kumpulan peristiwa itu menjadi cerita yang tersusun menjadi sebuah cerita dari awal hingga akhir yang bersambung berdasarkan hukum sebab akibat itulah kemudian disebut sebagai alur atau plot (Sugiantomas, 2013: 62).
S. Tasrif (dalam Sugiantomas, 2013: 63) menyatakan bahwa setiap cerita biasanya diciptakan dari lima bagian peristiwa. Urutan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai berikut:
1.      Pengarang mulai melukiskan suatu keadaan.
2.      Peristiwa yang bersngkut paut mulai bergerak.
3.      Keadaan mulai memuncak.
4.      Peristiwa-peristiwa mencapai klimaks.
5.      Pengarang memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
Apabila pengarang menyusun cerita berdasarkan urutan peristiwa dari permulaan sampai akhir maka susunan tersebut dapat dikatakan sebagai alur konvensional atau tradisional, namun apabila peristiwa dari tengah atau dari akhir maka dikatakan alur sorot balik atau flash back.
Secara kualitatif, alur diklasifikasikan menjadi dua:
1.      Alur Erat
Alur erat yaitu alur yang terdapat hubungan yang kuat dari satu peristiwa ke peristiwa yang lainnya. Sehingga pembaca harus melewati peristiwa-peristiwa tersebut secara berurutan agar pembaca dapat memahami cerita secara utuh.
2.      Alur Longgar
Alur longgar yaitu alur yang terdapat hubungan yang longgar antara satu peristiwa satu kepada peristiwa lainnya. Sehingga pembaca dapat melewati beberapa peristiwa dan masih dapat memahami maksud atau keseluruhan cerita.

Secara kuantitatif, alur dikalsifikasikan menjadi dua:
a.       Alur Tunggal
Alur tunggal yaitu alur cerita yang hanya mempunyai satu susunan kejadian baik dalam cerita yang mempunyai alur konvensional atau pun sorot balik.
b.      Alur Ganda
Alur ganda yaitu alur cerita yang mempunyai lebih dari satu peristiwa. Hal ini disebabkan karena berkembangnya cerita karena suatu cerita dianggap penting dan menarik.

c.  Tokoh dan Perwatakan
            Manusia yang ada dalam cerita rekaan tersebut disebut sebagai tokoh, yaitu individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa Panuti Sudiman (dalam Sugiantomas, 2013: 65). Semua tokoh dalam cerkan adalah tokoh rekaan, artinya tidak ada dalam dunia nyata. Bisa jadi akan ada kemiripan sifat-sifat yang sama dengan seseorang dalam hidup nyata, tetapi hal itu dimaksudkan agar tokoh tersebut dapat diterima dan dikenal pembacanya. Lebih lanjut Jones (dalam Nurgiantoro, 2010: 165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
            Menurut Stanton (dalam Nurgiantoro 2010: 165) penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi dan prinsif moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian character dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Adapun beberapa jenis tokoh yang mungkin terdapat dalam sebuah cerkan yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan;
1.      Tokoh Sentral
       Tokoh sentral adalah tokoh yang hampir dalam keseluruhan cerita menjelajahi persoalan. Mereka menjadi manusia yang konfliknya menonjol, tokoh sentral ini terbagi pada tokoh utama atau protagonis dan tokoh penentang utama atau antagonis.
a.       Tokoh Utama atau Protagonis.
Adalah tokoh yang memegang peran yang menjadi pusat cerita, tempat bertumpunya plot, dan tema cerita.
b.      Tokoh Penentang atau Antagonis
Adalah tokoh yang menjadi lawan tokoh utama. Sebagai penentang kehadiran tokoh ini akan menjelaskan konflik yang ada pada tokoh utama.
2.      Tokoh bawahan
Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral dan kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya dangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Ada tiga cara pengarang dalam melukiskan watak tokoh;
a.       Cara Langsung atau Analitik
Dengan cara langsung pengarang tanpa rasa ragu menggambarkan watak tokohnya kepada pembaca.
b.      Cara tak Langsung atau Dramatik
Dengan cara tak langsung pengarang menggambarkan lewat fisik tokoh, dengan menggambarkan tempat atau lingkungannya, dengan menggambarkan perbuatan dan tingkah lakunya, dengan menggambarkan pikiran-pikiran tokoh, dan dengan menggambarkan melalui dialog tokoh.
c.       Cara Langsung dan tak Langsung
Dengan cara ini pengarang ingin menjelaskan watak tokhnya sejelas-jelasnya, sehingga pengarang menggambarkan tokoh dengan menggunakan kedua cara secara sekaligus.

d.      Latar atau Setting
Latar atau setting adalah segala keterangan mengenai waktu, tempat, suasana dan lingkungan sosial yang terdapat dalam cerita. Latar berguna untuk memperkuat tema, plot, watak tokoh dan membangun suasana cerita. Dengan begitu akan memeberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami cerita.
Latar tempat adalah gambaran ‘dimana’ seluruh cerita dalam cerita itu terjadi. Latar waktu adalah gambaran ‘kapan’ peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar suasana adalah gambaran bagaimana suasana seluruh peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar sosial adalah gamabaran lingkungan sosial apa saja yang ada dalam cerita.

e.  Titik Pengisahan atau Juru Cerita
Titik pengisahan disebut juga sudut pandang atau point of view adalah kedudukan pengarang dalam bercerita. Lebih lanjut Gorys Keraf (1994: 86) menjelaskan bahwa sudut pandang adalah tempat darimana seorang pengarang melihat sesuatu. Sudut pandang tidak diartikan sebagai penglihatan atas sesuatu barang dari atas atau dari bawah, tetapi bagaimana kita melihat barang itu dengan mengambil suatu posisi tertentu.
Secara garis besar titik pengisahan atau juru cerita terdiri dari titik pengisahan pengarang sebagai pengamat dan titik pengisahan pengarang sebagai tokoh.
Ø  Titik Pengisahan Sebagai Pengamat
Titik pengisahan sebagai pengamat biasanya ber “Ia” kepada tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, atau menyebut nama tokoh masing-masing. Titik pengisahan pengarang sebagai pengamat ini dibagi menjadi tiga:
a.    Titik Pengisahan Maha Tahu
Pengarang mampu menceritakan segala hal yang terdapat dalam cerita, baik tingkah laku, apa yang dikerjakan, bahkan perasaan yang ada dalam diri tokoh ciptaannya.
b.   Titik Pengisahan Objektif
Pengarang mampu menceritakan sesuatu yang nampak saja, artinya tidak sampai kepada hal yang abstrak seperti suasana hati tokohnya.
c.    Titik Pengisahan Sebagai Peninjau
Pengarang memilih salah satu tokoh dan menjelaskan secara detail tentang tindakannya dan perasaanya.
Ø  Titik Pengisahan Sebagai Tokoh
Titik pengisahan sebagai tokoh pengarang menempatkan dirinya sebagai “aku” dalam rekaan yang dibuatnya. Seolah-olah dia berada langsung dalam cerita dan mengalami seluruh peristiwa yang ada. Pengarang bisa bertindak sebagai tokoh protagonis atau tokoh bawahan. Titik pengisahan sebagai tokoh dibagi menjadi dua:
a.    Titik Pengisahan Sebagai Tokoh Protagonis
Pengarang bertindak sebagai tokoh autama atau protagonis. Dia ber ‘aku’ dan menceritakan dirinya sendiri
b.   Titik Pengisahan Tokoh Bawahan
Pengarang bertindak sebagai tokoh bawahan. Dia ber ‘aku’, dan menceritakan tokoh lain, yaitu tokoh protagonis.

f.  Gaya
Gaya yang dimaksudkan yaitu gaya pengarang dalam membawakan ceritanya. Gaya ini berupa cara-cara khas dari pengarang dalam menyusun bahasa, menggambarkan tema, menyusun plot, menggambarkan karakter dan watak, menentukan setting dan memberikan amanat. Cara-cara khas antara pengarang satu dengan yang lain akan berbeda.
Gaya pun memiliki kaitan dengan gaya bahasa yang  pakai dalam membawakan ceritanya ketika pengarang menyuguhkan alur ataupun tokoh dan unsur-unsur lain yang termuat dalam ceritanya.

g.      Amanat
Amanat yaitu pesan yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat dalam cerkan dapat dilihat dari keseluruhan cerita artinya ada dalam cara-cara pengarang melontarkan konflik bagi tokoh-tokohnya, mengembangkannya dan menyelasaikannya. Dari sana pembaca dapat mengetahui bagaimana sikap hidup pengarang dalam menjalani hidup ini.
Amanat dapat pula dilihat dari kalimat-kalimat yang langsung oleh pengarang baik berupa narasi, deskripsi, atau dialog tokoh. Amanat semacam ini biasanya selalu berkaitan dengan tema yang tersebar didalam setiap peristiwa.
            Berbobot atau tidaknya amanat yang ada dalam cerita tergantung pada mutu cerita, artinya sangat terikat pada proses pencarian ide, perenungan yang dalam tentang hidup, tanggapan-tanggapan terhadap persoalan manusia, sikap emosional, dan intelektual dalam melihat lingkungan dan sebagainya.


BAB III
PEMBAHASAN
(Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbaana)
3.1 Sekilas tentang pengarang
            Sutan Takdir Alisjahbana (STA) lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908. Beliau merupakan tokoh pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia.
STA masih keturunan keluarga kerajaan. Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Ayahnya, Raden Alisyahbana yang bergelar Sutan Arbi, adalah seorang guru.
            STA menikah dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri pertamanya adalah Raden Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 dan wafat pada tahun 1935) yang masih berkerabat dengan STA. Dari R.A Rohani Daha, STA dikaruniai tiga orang anak yaitu Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan Sofjan Alisjahbana. Tahun 1941, STA menikah dengan Raden Roro Sugiarti (wafat tahun 1952) dan dikaruniai dua orang anak yaitu Mirta Alisjahbana dan Sri Artaria Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret Axer (menikah 1953 dan wafat 1994), STA dikaruniai empat orang anak, yaitu Tamalia Alisjahbana, Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, dan Mario Alisjahbana. STA sangat menghormati wanita, ia mengatakan bahwa wanita adalah motor penggerak dan pendukung dibalik kesuksesan seorang laki-laki.
            Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1921), STA melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1979) dan Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia (1987).
            Kariernya beraneka ragam dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
STA merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.
            Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai sampai sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa-bahasa Asia tentang The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967).
            Selain sebagai ahli tata Bahasa Indonesia, STA juga merupakan seorang sastrawan yang  banyak menulis novel. Beberapa contoh novelnya yang terkenal yaitu Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), dan Grotta Azzura (1970 & 1971). Adapun karya nonfiksi yaitu Kebangkitan Puisi Baru Indonesia, Perjuangan Tanggungjawab dalam Kesastraan Indonesia, dan Amir Hamzah sebagai penyair dan Uraian Sajak Nyayi Sunyi.
            STA menghabiskan masa tuanya di rumah, di Indonesia. Rumahnya sangat asri dan penuh dengan tanaman serta pepohonan. STA membiarkan hewan-hewan ternaknya berkeliaran di halaman belakang rumahnya yang luas, seperti angsa dan ayam. STA mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, serta berenang di kolam renang yang dibuatkan oleh anak-anaknya untuk menjaga kesehatan tubuh. STA meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada usia 86 tahun.
3.2 Sinopsis Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana
            Tuti dan Maria adalah kakak beradik, kedua gadis ini memiliki sifat yang sangat berlawanan. Tuti adalah seorang pemikir yang hanya memperkatakan hal-hal yang perlu, giat bergerak dalam perkumpulan kaum wanita dan tidak pernah bosan memperjuangkan kemajuan kaumnya. Pidatonya dalam rapat-rapat selalu berapi-api, membangkitkan semangat kaum wanita untuk mengangkat drajat dengan kesaadaran sendiri. Ia merupakan Guru HIS Arjina di Petojo. Sedangkan, Maria si bungsu seorang wanita periang, lincah, dan mudah kagum akan suatu hal, ia masih Sekolah di HIS Capentier Stichting kelas penghabisan.
            Pada hari Minggu pagi Tuti dan Maria pergi ke akuarium di pasar ikan. Di tengah-tengah dua dara jelita ini, muncullah Yusuf, seorang pemuda yang tinggi badannya dan berkulit bersih, berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam. Mereka bertemu ketika hendak mengambil sepeda dan meninggalkan pasar, di tempat itu mereka berbincang-bincang dan berkenalan.
            Semenjak pertemuannya yang pertama di gedung akuarium pasar ikan kemarin, Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis itu, terutama Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kali bertemu, tidak disangkanya ternyata Maria pun merasakan hal yang sama sehingga tidak lama kemudian mereka menjadi sepasang kekasih. Sementara itu, Tuti sendiri terus disibukan oleh kegiatannya dalam pergerakan perkumpulan wanita. Dalam kesibukanya itu sebenernya Tuti berkeinginan untuk memiliki seorang kekasih oleh karena melihat hubungan cinta kasih adiknya itu, apalagi ketika ia menerima surat cinta dari Supomo, seorang pemuda terpelajar yang baik hati dan berbudi luhur. Namun, karena pemuda itu bukanlah idamannya, ia menolak cintanya. Sejak itu hari-harinya semakin di sibukkan sehingga ia sedikit melupakan angan-angannya tentang seorang kekasih.
            Perkenalan Yusuf dengan Wiriaatmaja ini makin lama makin bertambah akrab, karena benih cinta yang telah tumbuh di hati Yusuf kepada Maria, setelah melalui tahap-tahap perkenalan, pertemuan dengan keluarga, dan kunjungan oleh Yusuf, diadakanlah ikatan pertunangan antara Maria dengan Yusuf. Tetapi sayang, ketika menjelang hari pernikahan, Maria mendadak jatuh sakit karena mengidap penakit malaria dan TBC. Penyakitnya semakin hari makin bertambah parah, sehingga harus dirawat di sanatorium Pacet di Sindanglaya Jawa Barat. Meskipun Maria telah di rawat ditempat rumah sakit bagi perempuan TBC, keadaan Maria semakin hari semakin mengkhawatirkan, sehingga tidak lama kemudian, Maria menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sebelum Maria meninggal Maria sempat berpesan kepada kekasihnya, Yusuf. Agar Yusuf bersedia menerima Tuti sebagai kekasihnya. Tuti pun tidak menolak dan dimulailah pertunangan antara Tuti dan Yusuf.

3.3 Tema
            Tema dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah tentang perjuangan wanita Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Sebab, roman ini termasuk novel modern, disaat sebagian masyarakat Indonesia masih dalam pemikiran lama. Novel ini banyak memperkenalkan masalah wanita Indonesia dengan benturan-benturan budaya baru, menuju pemikiran baru.
            Terceritakan dua orang gadis bersaudara, yang memiliki sifat berlawanan. Maria si bungsu adalah seorang wanita periang, lincah, dan mudah kagum terhadap suatu hal. Sedangkan, Tuti adalah seorang pemikir yang hanya memperkatakan hal-hal yang perlu, giat bergerak dalam perkumpulan kaum wanita dan tidak pernah bosan memperjuangkan kemajuan kaumnya. Pidatonya dalam rapat-rapat selalu berapi-api, membangkitkan semangat kaum wanita untuk mengangkat drajat dengan kesaadaran sendiri.
Berikut bukti kutipan yang mendukung penjelasan mengenai tema:
........................................................................................................................................
Ø   “Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat, berbicara tentang sikap perempuan baru sebagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah seharusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 40)
......................................................................................................................................
Ø  ”Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tidak mempunyai hak.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 42)
......................................................................................................................................
Ø  ”Untuk menjaga supaya perempuan itu jangan insaf akan kedudukannya, akan nasibnya yang nista itu, maka diikat oranglah dengan bermacam-macam ikatan: bermacam-macam adat, bermacam-macam kebiasaan, bermacam-macam ikatan.” (St. Takdir Alisjahbana 2006: 46)
...................................................................................................................................
3.4. Alur/Plot
3.4.1 Susunan alur
Susunan alur/plot dalam Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah sebagai berikut:
1)      Pengarang mulai melukiskan keadaan (Situation)
Pada hari minggu pukul tujuh pagi, pintu gedung akuarium terbuka. Dua orang gadis masuk ke dalam gedung akuarium, kedua gadis itu bernama Tuti dan Maria. Tuti dan Maria adalah kakak beradik yang memiliki watak berbeda, kedua gadis itu merupakan anak dari Raden Wiriatmadja mantan Wedana daerah Banten, yang pada ketika itu hidup dengan pensiunananya di Jakarta bersama kedua anaknya. Sebab, Ibu mereka telah meninggal dua tahun yang lalu, sehingga tinggalah mereka bertiga.
Tuti berusia dua puluh lima tahun sedangkan adiknya, Maria berumur dua puluh tahun. Maria masih murid H.I.S Carpertitier Alting Stichting kelas penghabisan dan Tuti menjadi Guru pada sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Di tempat itu mereka bertemu dengan seorang pemuda yang tinggi badannya, berkulit bersih, berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam. Pada saat itu pula mereka berbincang-bincang dan berkenalan. Nama pemuda itu adalah Yusuf, dia adalah seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran atau pada masa itu disebut Sekolah Tabib Tinggi, ia putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan.
2)      Peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak (Generating Circumtances)
Semenjak pertemuan itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis yang ia temui di gedung akuarium, terutama Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kali bertemu, bahkan dia berharap untuk bisa bertemu lagi dengannya. Tidak disangka oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu lagi di depan hotel Des Indes. Ketika hendak sampai ke sekolahnya. Semenjak pertemuan keduanya itu, Yusuf mulai sering menjemput Maria untuk berangkat sekolah bersama, serta dia juga sudah mulai berani berkunjung ke rumah Maria. Dalam sepuluh hari ini telah kelima kalinya Yusuf datang kerumah R. Wiriaatmaja. Perkenalan Yusuf dengan keluarga Raden Wiriaatmaja makin lama makin akrab karena benih cinta dihati Yusuf dan Maria. Ketika mereka berempat sedang asik berbicang. Datanglah Parta, paman dari Tuti dan Maria. Kedatangannya itu malah memicu perdebatan di antara ia dan Tuti. Oleh karena parta mengeluhkan adiknya yang bernama saleh, sebab, saleh secara tiba-tiba berhenti dari pekerjaanya yang telah memberikan penghasilan yang cukup bagi dirinya dan sanak keluarganya. Parta beranggapan, bahwa kebahagiaan itu dinilai hanya dari sebuah materi akan tetapi Tuti tidak sepaham dengan pendapat pamannya itu. Tuti menganggap bahwa kebahagiaan itu di nilai dari kenyamanan di manapun kita berarda dan itulah mungkin yang saat ini dicari oleh saleh.
Setelah kejadian perdebatan di serambi depan rumah itu, lima belas hari kemudian setelah Maria dan Yusuf menyelesaikan ujian, keduanya memutuskan untuk berlibur. Selama berlibur Yusuf dan Maria saling mengirim surat, dalam surat tersebut Maria mengatakan kalau dia dan Tuti telah pindah ke Bandung. Kegiatan surat menyurat tersebut membuat Yusuf semakin merindukan Maria. sehingga pada akhirnya Yusuf memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan ke Bandung untuk mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Setelah itu Yusuf mengajak Maria berjalan-jalan ke air terjun Dago, tetapi Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya. Di tempat itu Yusuf menyatakan perasaan cintanya kepada Maria.
3)      Keadaan mulai memuncak (Rising Action)
Setelah Maria menjalin hubungan dengan Yusuf, kelakuan Maria berubah. Percakapannya selalu tentang Yusuf, ingatannya sering tidak menentu, dan sering melamun. Sehingga Rukamah sering mengganggunya. Sementara hari-hari Maria penuh kehangatan bersama Yusuf. Kakanya sendiri terus disibukan oleh kegiatan-kegiatannya dalam kongres Putri Sedar yang diadakan di Jakarta dan di Sala. Dalam kesibukanya, pikiran Tuti terus terganggu oleh keinginan hatinya untuk merasakan kemesraan cinta. Oleh karena melihat kemesraan Maria dengan Yusuf. Namun dari pada itu Tuti juga memiliki kekhawatiran terhadap hubungan mereka. Dengan hati yang tulus Tuti menasehati Maria agar adiknya jangan sampai di perbudak oleh cinta. Nasihat tulus itu malah justru memicu pertengkaran di antara mereka, karena Maria tidak terima nasehat yang menurut kakaknya baik itu. Maria beranggapan bahwa nasehat yang di ucapkan  kakaknya seakan ingin memisahkan ia dengan kekasihnya. Kemarahan Maria memberikan pukulan keras terhadap Tuti. Setelah kejadian itu, Tuti sama sekali tidak berbicara dengan Maria, dia merasa sendiri dan sepi dalam kehidupannya.
4)      Peristiwa-peristiwa mencapai klimaks (Climax)
Beberapa hari kemudian setelah pertengkaran itu. Maria mendadak jatuh sakit, terkena penyakit malaria dan TBC. Tuti pun kembali memperhatikan adaiknya, Tuti menjaganya dengan sabar. Pada saat itu juga adik Supomo datang atas perintah Supomo untuk meminta jawaban pernyataan cintanya kepada Tuti. Sebenarnya Tuti sudah ingin memiliki seorang kekasih, tetapi Supomo dipandangnya bukan pria idaman yang diinginkan Tuti. Maka dengan segera Tuti menulis surat penolakan.
Sementara itu, keadaan Maria semakin hari makin bertambah parah. Kemudian ayahnya, Tuti, dan Yusuf kekasihnya, memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit khusus penderita penyakit TBC wanita di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat. Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan, yang terjadi malah kondisi Maria semakin melemah
5)      Pengarang memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa (Denoument)
Pada suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Semakin hari hubungan Yusuf dengan Tuti semakin akrab, sementara itu kondisi kesehatan Maria justru semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun sudah tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Pada saat kritis Maria mengatakan sesuatu sebelum ia menginggal. Maria berpesan agar Tuti, kakaknya bersedia menerima Yusuf. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Setelah beberapa lama kemudian, sesuai dengan pesan terakhir Maria, Yusuf dan Tuti bertunangan dan bahagia selama-lamanya.
Jadi berdasarkan uraian di atas, susunan alur/plot novel Latar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dapat dikatakan sebagai plot konvesional.

3.4.2 Ketegangan atau suspance yang nampak dalam peristiwa-peristiwa cerita novel Layar Terkemang karya Sutan Takdir Alisjahbana.
   ................................................................................................................................
Ø  “Apa Katamu?” ujar Parta dengan suara yang agak keras sedikit mendengar ucapan keponakannya yang menyangkal katanya itu.
(Sutan Takdir Alisjahbana, 2006: 29)
...............................................................................................................................
Ø  “Ah, engkau Tuti saya tahu engkau sudah sebangsa pula dengan Saleh tetapi engkau jangan marah, kalau saya katakan, bahwa bahagia yang engkau sebut itu omong kosong.” (Sutan Takdir Alisjahbana, 2006: 31)
................................................................................................................................
Ketegangan tersebut muncul ketika Tuti menyangkal ucapan pamannya, Parta. Mengenai arti kebahagiaan. Dalam peristiwa ini parta mengeluhkan sikap adiknya yang telah mengecewakan dirinya tentang kebahagiaan hidup yang hendak dicapai adiknya itu.
.......................................................................................................................................
6)      Tiap-tiap perkataan yang diucapkan dengan penuh kegembiraan, penuh semangat itu, meresap kepada segala yang hadir. Tuti terkenal sebagai  seorang pendekar yang pandai memilih kata yang dapat mengucapkan katanya dengan kegembiraan seluruh hatinya, sehingga tertarik dan terhanyut segala orang yang mendengarkan. (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 42)
...............................................................................................................................
7)      ”Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tidak mempunyai hak.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 42)
...............................................................................................................................
8)      ”Demikian perempuan tinggal bodoh dan oleh bodohnya lebih bergantunglah ia kepada laki-laki. Makin mudahlah laki-laki menjadikannya hambanya dan permainannya.”  ( St. Takdir Alisjahbana, 2006: 46)
................................................................................................................................
9)      ”Perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari kepentingan hainya yang loba tentu akan harus mengakui itu.
(St. Takdir Alisjahbana 2006: 47)
...................................................................................................................................
Ketegangan tersebut muncul ketika Tuti mengorasikan pidatonya melalui kongres putri sedar tentang sikap perempuan baru, yang diucapkan dengan penuh kegembiraan dan penuh semangat.
............................................................................................................................
10)  ”Mengapa engkau diam saja? “kata Yusuf tiba-tiba seraya memalingkan matanya dari air terjun.
(St. Takdir Alisjahbana 2006: 74)
................................................................................................................................
11)  “Saya agak lesu,” hampir-hampir tiada kedegengaran dan suaranya yang halus itu menyerupai suara kanak-kanak yang mencari perlindungan pada bunda.
“Engkau sakit Maria....!” suara terang menyatakan bahwa ia agak khawatir melihat rupa maria ketika itu.
(St. Takdir Alisjahbana 2006: 74)
...............................................................................................................................
12)  ”Terlampau kita paksakan berjalan sejauh itu mendaki sejak dari Bandung. Saya sekali-sekali tidak ingat bahwa baadanmu tiada kuat,” Katanya pula dan matanya masih khawatir mengamat-amati gadis yang ramping itu.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 74)
.............................................................................................................................
Ketegangan tersebut muncul ketika Yusuf melihat wajah Maria, orang yang ia cintai wajahnya terlihat letih dan lesu. Dapat di bayangkan pastilah khawatir melihat orang yang kita cintai kondisinya seperti itu.
................................................................................................................................
13)  ”cintamu yang tidak ditahan-tahan seperti sekarang ini, berarti merendahkan dirimu kepadanya. Terlampau engkau nyatakan bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya, bahwa engkau tidak dapat hidup lagi kalau tidak dengan dia.
(St. Takdir Alisjahbana 2006: 87)
...............................................................................................................................
14)  “Ah, engkau hendak mengatur-atur orang pula. Saya cinta kepadanya biarlah saya mati dari pada saya bercerai dari dia.
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 87)
................................................................................................................................
15)  ”Sejak engkau cinta kepada yusuf, rupanya otakmu sudah hilang sama sekali engkau tidak dapat menimbang baik buruk lagi. Sudahlah ! apa gunanya memberi nasehat orang serupa ini?”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 87)
.................................................................................................................................
16)  ”Barangkali cinta perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram, tidak hendak rugi barang sedikit. Patutlah pertunanganmu dengan HHambali dahulu putus.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 88)
................................................................................................................................
“Muka Tuti memerah sampai ketelinganya mendengar kata maria yang pedas itu.”
 “Tutup mulutmu yang lancang itu nanti saya remas.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 88)
...............................................................................................................................
Ketegangan selanjutnya muncul ketika Tuti memberikan nasihat kepada Maria mengenai perasaan cintanya terhadap Yusuf yang dinilainya terlalu berlebihan. Namun bukan terimakasih yang di dapat dari Maria, justru malah memicu pertengkaran oleh karena Maria tidak terima dengan nasehatnya. Sebab, nasehatnya itu seolah  ingin memisahkan dirinya dengan kekasihnya, Yusuf.
...............................................................................................................................
Ø  “Tiba-tiba Tuti terkejut mendengar Maria batuk dan Yusuf seperti orang kecemasan memanggil Juhro minta ambilkan tempolong.
.........”maria nampak kepadanya adiknya itu muntah mengeluarkan darah dari mulutnya kedalaam tempolong yang dipegang oleh Yusuf.
(ST. Alisjahbana, 2006: 148)
.................................................................................................................................
Ø  “Darah, yusuf, darah ! mana bapak mengapa adikku demikian?”
.............”Maria mendapat penyakit batuk darah. Sakit malaria yang sangat melemahkan badannya rupanya memberi kesempatan kepada penyakit TBC.”
(ST. Alisjahbana, 2006: 149)
................................................................................................................................
Ketegangan selanjutnya muncul ketika Maria mendadak batuk darah di hadapan Tuti dan Yusuf.
................................................................................................................................
Ø  ”Kalau begini rasa-rasanya, saya hanya menunggu waktunya saja lagi. Betepakah akan rasanya mati, tidak lagi melihat dan mendengar, meninggalkan segala yang dikasihi dan disayangi untuk selama-lamanya...”
(ST. Alisjahbana, 2006: 170)
.........................................................................................................................
Ø  “Maria, mesti kuat. Engkau girang selalu jangan diturutkan hati iba. Lawan rasa kesepian. Engkau mesti lekas baik lagi.”
(ST. Alisjahbana, 2006: 194)
............................................................................................................................
Ø  ”tak lama lagi saya hidup di dunia ini. lain rasa-rasanya... kepalanya digelengkannya di atas bantal, ada sesuatu dalam hatinya yang masih menghambatnya mengeluarkan pengakuan yang telah beberapa hari menjadi buah pikirannya.
(ST. Alisjahbana, 2006: 195)
...............................................................................................................................
Ø  ”Alangkah bahagianya saya rasanya diakhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun berkasih-kasih seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini.....”
“...Tuti dan Yusuf terkejut mendengar perkataan penghabisan itu.”
”Maria, Maria sampai kemana-mana pikiranmu? Engkau membinasakan dirimu sendiri ..... Engkau engkau harus girang, engkau harus percaya bahwa engkau mesti sembuh.”
(ST. Alisjahbana, 2006: 196)
................................................................................................................................
Selanjtnya adalah ketegangan yang paling terasa ketika Maria terbaring lemah dirumah sakit karena menghadapi penyakitnya yang tak kujung sembuh, dan malah semakin hari semakin parah. Pada akhirnya Maria menghembuskan nafas terakhirnya dihadapan Tuti dan kekasihnya Yusuf.

3.4.3 Padahan
Padahan yang nampak dalam peristiwa-peristiwa cerita novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana.
1)      Padahan yang muncul dalam benak saya pada saat Yusuf sudah menyelesaikan ujian doktoralnya lalu ketika libur tiba, Yusuf pulang untuk mengunjungi orang tuanya di Martapura Sumatra Selatan. Awalnya saya pikir tokoh Yusuf akan berhenti sampai peristiwa ini, namun padahan saya salah. Ternyata  Yusuf merupakan tokoh sentral dalam cerita ini.
2)      Padahan selanjutnya yang muncul dibenak saya, ketika Yusuf mengutarakan cintanya kepada Maria lalu setelah itu mereka menjadi sepasang kekasih, awalnya saya pikir Yusuf tidak akan secepat itu mengungkapkan perasaan cintanya, namun dugaan saya salah, ternyata setelah mereka menjadi sepasang kekasih setelah itu tidak lama kemudian mereka bertunangan.
3)      Padahan selanjutnya yang muncul ketika Maria menjalin hubungan cinta kasih dengan Yusuf, sedangkan kakaknya, Tuti terus disibuk oleh persiapan laporan kongres perikataan perempuan di Sala. Melihat kebersamaan Maria dengan Yusuf, Tuti merasa iri bahkan benci, karena keduanya selalu bersama. Kegelisaan membuat hati Tuti bimbang dengan apa yang di perjuangkanya selama ini di dalam perkumpulan wanita. Apa lagi setelah Tuti menerima surat dari Supomo rekan kerjanya, yang ingin menikahi dirinya. Sehingga Tuti di hadapkan dengan dua pilihan. Antara menerima pinangan Supomo atau perkumpulannya. Awalnya saya pikir Tuti akan memilih untuk menerima pinangan Supomo oleh karena Tuti sendiri menyadari bahwa dirinya sudah amat berumur, mau jadi apa kelak kalau dirinya tidak kawin. Begitu anggapannya. Namun padahan saya salah sebab, Tuti lebih memilih perkumpulannya di bandingkan perasaan cintanya kepada Supomo.
4)      Padahan selanjutnya yang muncul ketika Maria mendadak jatuh sakit, yang mengharuskan ia dirawat di rumah sakit. Dokter yang merawatnya mengungkapkan bahwa Maria terserang penyakit malaria dan mengidap TBC yang amat parah. Yang mengharuskan Maria dirawat di rumah sakit. Yusuf dan Tuti bergantian menjenguk Maria. Berbulan-bulan Maria dirawat, namun kondisinya tidak juga membaik. Awalnya saya pikir Yusuf akan meninggalkan Maria dengan kondisinya yang seperti itu. Namun lagi-lagi padahan saya salah sebab pada kenyataanya, Yusuf setia menjaga, menjenguk, dan menghibur Maria supaya ia lekas sembuh.
5)      Padahan selanjutnya yang muncul dibenak saya ketika Maria terbaring dirumah sakit khusus pengidap Penyakit TBC di pacet Sindang laya Jawa Barat. Sudah berbulah-bulan Maria dirawat, namun kondisinya tak kunjung membaik. Awalnya saya pikir Maria akan sembuh lalu menikah dengan kekasihnya, Yusuf. Dan lagi-lagi padahan saya salah, justru malah Tuti yang menikah dengan Yusuf. Sebab, itu karena pesan trakhir dari Maria sebelum ia meninggal. Agar kekasihnya, Yusuf mau menikahi kakaknya. Dan permintaan itu dikabulkan lalu Yusuf dan Tuti hidup bersama.
3.4.4 Gambaran susunan Alur/Plot Secara Kualitatif
Secara kualitatif susunan alur/plot novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah alur atau plot erat. Sebab, hubungan antara satu peristiwa ke peristiwa lain mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga pembaca harus membaca halaman perhalaman untuk bisa mendapatkan cerita yang utuh dari novel tersebut. Apabila pembaca membuang atau melompati salah satu peristiwa dalam novel tersebut maka pembaca akan merasa bingung ketika membaca peristiwa selanjutnya sebab cerita yang didapat tidak utuh dan tentunya pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca tidak akan tersampaikan dengan baik.
3.4.5 Gambaran susunan Alur/Plot secara kuantitatif
Secara kualitatif susunan alur/plot novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah alur atau plot tunggal. Sebab, cerita dalam novel Layar Terkembang peristiwanya tersusun secara konvensional. Dari mulai pengarang mulai melukiskan keadaan, peristiwa yang bersangkutan paut mulai bergerak, keadaan mulai memuncak, pristiwa mulai klimaks, sampai pengarang memberikan pemecahan masalah. Peristiwa-peristiwa tersebut disusun secara utuh dan padu.
  
3.5 Tokoh dan Perwatakan
1)      Tuti sebagai tokoh utama karena tokoh Tuti intensitas keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita sangat dominan.
2)      Maria sebagai tokoh penentang karena menjadi lawan tokoh utama (Tuti). Karena dengan kehadiran tokoh Maria ini konflik yang ada pada tokoh utama.
3)      Yusuf sebagai tokoh bawaahan karena kedudukannya dalam cerita tidak terlalu sentral, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
4)      Raden Wiriatmaatja sebagai tokoh bawaahan karena kedudukannya dalam cerita tidak terlalu sentral tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
5)      Raden Patadiharja sebagai tokoh bawaahan karena kedudukannya dalam cerita tidak terlalu sentral, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
6)      Rukamah bawaahan karena kedudukannya dalam cerita tidak terlalu sentral, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
7)      Istri Partadiharja sebagai tokoh bawahan karena kedudukannya dalam cerita tidak terlalu sentral, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
8)       Ratna, sebagai tokoh bawaahan karena kedudukannya dalam cerita tidak terlalu sentral, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
9)       Saleh sebagai tokoh bawaahan karena kedudukannya dalam cerita tidak terlalu sentral, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
10)    Juru Rawat sebagai tokoh bawaahan karena kedudukannya dalam cerita tidak terlalu sentral, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
11)    Suparto, Suparno, Dokter, Ayah, Bunda, Juhro, Hambali, Sukamti, Dahlan, Opas pos, Rukmini, Sukarto, Nelayan, tukang dayung sampan, Rukmini, Perempuan tua, Ningsih, Iskandar, Supomo, Sopir, Loesje, Klara, Corry, pemuda Belanda sebagai tokoh tambahan karena didalam cerita tersebut tidak begitu banyak di jelaskan oleh pengaarang dan kemunculannya hanya sebagai pendukung tokoh sentral.

3.5.1 Penggambaran watak tokoh-tokoh yang mendukung cerita novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana.

3.5.1.1Cara langsung atau Analitik

  •   Tokoh Tuti

Tokoh Tuti mempunyai karakter seorang yang tidak mudah kagum, tidak mudah heran, jarang memuji, pandai berbicara, tegas, teliti, pendiam, kukuh pendirinanya dan mempunyai pemikiran yang tajam.
1)      Cara langsung atau Analitik
..........................................................................................................................
Ø “Tuti bukan seorang yang mudah kagum, mudah heran, tentang suatu hal keinsafan akan dirinya sangat besar.” (St. Takdir Alisjahbana 2006: 5)
.........................................................................................................................
Ø  “Ia pandai dan cakap serta banyak yang akan di kerjakannya dan di capainya segala sesuatu diukurnya dengan kecakapaan sendiri. Sebab, ia jarang memuji.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 5)
............................................................................................................................
Ø  “Ia mempunyai pikiran dan pandangan sendiri dan segala buah pikirannya yang tetap itu berdasarkan pandangan sendiri dan segala buah pikirannya disokong oleh keyakinan yang pasti.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 5)
...........................................................................................................................
Ø  “Seorang yang tegap dan kukuh pendirian tidak suka beri-memberi.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 5)
..........................................................................................................................
“Yang seoarang agak pendiam dan tertutup rupanya, tetapi segala ucapannya teliti.” (St. Takdir alisjahbana, 2006: 16)
...........................................................................................................................
Ø  “Dengan kemauan tetap dan keras tuti dapat mengatur rumah.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 26)
...........................................................................................................................
Ø  “Mendengar pikiran yang setegas dan sejelas itu susunannya yang terdiam kekaguman sejurus.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 37)
.........................................................................................................................
Ø  “Tuti telah terkenal seorang pendekar yang pandai memilih kata memilih kata, yang dapat mengucapkan.” (St. Takdir Alisjahbana 2006: 42)
..........................................................................................................................
Ø  Dan ketika kalimat penghabisan,  yang dikatakan dengan tekanan yang keras dan tegas itu.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 45 )
..........................................................................................................................
Ø  “Perkataannya terpilih susunan katanya tegas dan kukuh suaranya tetap dan pasti penuh kepercayaan.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 70)
.........................................................................................................................
Ø  “Tiada dapat diaturnya dengan pikiranya yang tajam, dengan perhitungan yang nyata.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 99)

2)      Secara Tidak Langsung
a.       Dengan menggambarkan fisik tokoh
.........................................................................................................................
Ø  “Muka yang tua dan tegap Perawakan.”(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 3)
.........................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang wanita yang matang pikirannya, memiliki pendirian yang kuat dan tegas.
...........................................................................................................................
Ø  “Maka berbunyilah suaranya, halus sebagai badannya, tetapi nyaring nyata” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 36)
..........................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang yang memiliki suara halus wanita pada umumnya namun ketika berpidato suaranya nyaring terdengar.
b.      Dengan menggambarkan tempat dan lingkungannya
.......................................................................................................................
Ø  “Tuti menjadi guru pada Sekolah HIS Arjuna di Petojo.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 4)
....................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang wanita yang memiliki integritas keperibadian yang baik, memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri maupun untuk orang lain dan dapat mengendalikan dirinya saat menghadapi permasalahan hidupnya.
................................................................................................................
Ø  “Sebagai salah seorang pemimpin perkumpulan itu yang terkemuka, lain dari pada pengurus kongres itu kepadanya terserah pula mengadakan pidato.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 11)
..........................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang wanita yang cerdas dan memiliki jiwa kepemimpinan.
.........................................................................................................................
c. Dengan menggambarkan perbuatan atau tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu kejadian.
..............................................................................................................................
Ø  “Ya, bagus.” Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya tertahan berat.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 4)
...............................................................................................................................
Dari kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang wanita yang tidak mudah kagum.
................................................................................................................................
Ø  “Ya, sayapun tiada percaya akan yang serupa itu.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 12)
.................................................................................................................................
Dari kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang wanita yang tidak mudah percaya akan suatu hal.
...............................................................................................................................
Ø   “Kasihan hatinya melihat adiknya itu.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 85)
................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang yang penyayang terhadap adiknya. Sebab, ia merasa kasihan melihat adiknya sedih.
..........................................................................................................................
Ø  “Tidak dapatlah lagi ia menahan hatinya akan memberi nasihat kepadanya” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 86)
...............................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang yang peduli terhadap adiknya.
................................................................................................................................

d.      Dengan menggambarkan pikiran-pikiran tokoh
...............................................................................................................................
Ø  “Meskipun ia tahu bahwa pekerjaannya yang diserahkan kepadanya itu amat berat, ia tidak sampai hati menolaknya.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 90)
................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang yang bertanggungjawab terhadap pekerjaannya.
..............................................................................................................................
Ø  “Perempuan senantiasa akan menjadi permainan laiki-laki. Dan dari pada menjadi serupa itu, baginya baiklah ia tiada bersuami seumur hidupnya...”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 93)
.............................................................................................................................
Dari kutipan diatas tokoh tuti mempunyai karakter seorang yang memiliki pendirian yang kuat.
............................................................................................................................
Ø  “Menurut pikiranya yang menimbang dan mengukur, sekalian pujaan itu daya nafsu belaka dan hanya mungkin terjadi pada mereka yang tiada bertujuan hidup.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 133)
...........................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang memiliki pemikiran yang tajam mengenai pandangan hidup.
...........................................................................................................................
Ø  “Dalam perjuangan yang sengsara menghancurkan kalbunya dan memecahkan otaknya itu, akhir-akhirnya dikeraskannya hatinya mengambil keputusan. Ia tidak boleh lemah, ia tiada boleh mendurhakakan kepada asasnya sendiri.”  (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 150)
..............................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Tuti mempunyai karakter seorang wanita yang hati-hati dalam mengambil keputusan.
............................................................................................................................
e.       Dengan menggambarkan melalui tokoh dialog
..................................................................................................................................
Ø  “Tetapi, Yusuf tidakkah engkau lihat bahwa Tuti waktu yang akhir ini amat berubah?”....... “Pakaiannya misalnya lebih terpelihara lebih terpelihara dan berwarna-warna.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 139)
...................................................................................................................................
  •   Maria
Tokoh Tuti mempunyai karakter seorang yang Mudah kagum, mudah memuji dan memuja, mudah tersenyum, periang, lincah, suka berbicara, ucapannya sesuai dengan perasaanya yang bergelora, dan pancaran perasaannya tidak terhambat-hambat.
a.      Cara langsung atau analitik
.................................................................................................................................
Ø  “Sekonyong-konyong dari mulutnya suara yang gembira.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 4)
...................................................................................................................................
Ø  “Maria seseorang yang mudah kagum yang mudah memuji dan memuja. Sebelum selesai benar ia berpikir, ucapannya telah keluar menyataakan perasaannya yang bergelora baik waktu kegirangan maupun waktu kedukaan.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 5)
...................................................................................................................................
Ø  “Terhambur dengan girangnya dari mulut Maria.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 9)
...................................................................................................................................
Ø  “Jawab Maria dengan lancar dan gembira seolah-olah menyatakan kegiranganya yang tidak tertahan-tahan melihat teman-temannya itu.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 9)
..................................................................................................................................
Ø  “Yang seorang lagi suka bicara, lekas tertawa gelisah, penggerak.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 16)
...................................................................................................................................

b.      Secara tidak langsung
1)      Dengan menggambarkan fisik tokoh
Ø  “Sangat  manis rupanya.” ( St. Takdir Alisjahbana, 2006: 3)
........................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang berwajah cantik.
..........................................................................................................................
Ø  “Yang muda yang lena mengiring dari belakang, memakai rok pual sutra yang kekuning-kuningan.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 3)
............................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang anggun.
.............................................................................................................................
Ø “Rambutnya yang lebat dan amat terjaga.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 3)
.............................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang selalu menjaga penampilannya.
...............................................................................................................................
Ø “Muka yang muda agak kepanjang-panjangan oleh karena ramping dan kecil badannya.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 3)
.................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang selalu ceria, mudah tersenyum dan mudah tersinggung.
................................................................................................................................
Ø “Ya, perawakan badanmu benar bukan perawakan yang kuat.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 74)
...............................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang lemah lembut.
...........................................................................................................................

c.       Dengan cara menggambarkan tempat atau lingkungan
...................................................................................................................................
Ø “Maria lagi asik memeriksa tanaman kembang-kembangnya.
segala kembang yang amat tumbuh dihalaman yang kecil itu ialah hasil pekerjaannya, ia amat gemar akan bunga-bungaan.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 25)
.................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang menyukai keindahan dan kerapihan baik terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar.
..................................................................................................................................

d.      Dengan menggambarkan perbuatan atau tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu kejadian.
....................................................................................................................................
Ø  “Aduh indah benar.” Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya .” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 4)
....................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang mudah kagum tehadap suatu hal.
................................................................................................................................
Ø  “Engkau selalu mengganggu saya. Engkau tidak tahu bagaimana perasaan saya,” Ujar Maria tersendu-sendu.” (St. Takdir Alisjahbana 2006: 85).
....................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang mudah tersinggung.
.....................................................................................................................................
Ø  “Saya cinta kepadanya. Biarlah saya mati dari pada saya bercerai dari dia.”
(St. Takdir Alisjagbana, 2006: 87)
....................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang sangat mencintai pasangannya.
.....................................................................................................................................
Ø  “Tiada senang hatinya tiada dapat memberi makan kekasihnya.”
 (St. Takdir Alisjahbana 2006: 192).
....................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang perhatian kepada kekasihnya.
......................................................................................................................................
Ø  “Meskipun penyakitnya tidak menjadi ringan sedikit jua pun, tetapi dalam seminggu tiada terkata-kata berbahagia rasa dirinya setiap hari dapat bersuaa dengan tunangan dan kakaknya itu.” (St. Takdir Alisjahbana 2006: 192).
.....................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Maria mempunyai karakter seorang wanita yang tegar menghadapi penyakitnya yang tak kunjung membaik.
.....................................................................................................................................
  •    Yusuf
Tokoh Yusuf mempunyai karakter seorang yang ramah, baik, penyayang, setia, patuh, tidak sombong, pandai, peduli berjiwa nasionalis dan menyukai alam.
1)      Secara langsung atau analitik
..................................................................................................................................
Ø  “idealis, orang yang penuh cita-cita terhadap bangsa dan tahan air.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 54)
..................................................................................................................................
Ø  “Yusuf gemar akan alam” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 54)
...................................................................................................................................

2)      Secara tidak langsung atau dramatik
a.       Dengan menggambarkan fisik tokoh
................................................................................................................................
Ø  “Tinggi muda badannya, berkulit bersih, berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 6)
..................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Yusuf mempunyai karakter seorang yang berkarismatik dan selalu berpenampilan rapih.
.................................................................................................................................
b.      Dengan menggambarkan tempat dan lingkungannya
...........................................................................................................................
Ø  “Rupanya seorang setuden Sekolah Tabib Tinggi.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 14)
............................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Yusuf mempunyai karakter seorang yang ramah, sopan, pandai, cerdas, dan berwibawa.
...........................................................................................................................

3)      Dengan menggambarkan perbuatan atau tingkah laku atau reaksi toko terhadap kejadian.
............................................................................................................................
Ø  “Bolehkah saya menemani Zuz berdua samapai kerumah?”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 13)
.............................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Yusuf mempunyai karakter seorang yang baik hati.
...............................................................................................................................
Ø  “Kalau begitu sekarang Zus harus lekas-lekas masuk. Sekarang bukan waktunya lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh masyarakat kita sedang bergetak. Masalah kita yang muda-muda yang terpelajar akan menjadi nonton saja? Apabila kita dari sekarng tiada mulai serta, sampai kemudian …”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 19)
...............................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Yusuf mempunyai karakter seorang yang pintar, ramah, setiap perkataannya halus dan sopan.
.................................................................................................................................
Ø  “Petang-petang hari biasanya ia berjalan-jalan dengan Dahlan, kandidat ambtenaar pembantu ayahnya, masuk dusun keluar dusun. Adakalanya mereka bertandang pada gadis-gadis. Yusuf telah biasa akan yang demikian. Meskipun telah lebih dari lima belas tahun, ia tiada tinggal pada orang tuanya, selain dari pada waktu libur, tetapi sekalian adat istiadat bangsanya diketahuinya oleh karena ia suka bertanya dan mempelajari.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 50)
...............................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Yusuf mempunyai karakter seorang yang tidak sombong meskipun ia seorang Mahasiswa kedokteran.
...............................................................................................................................
Ø  “Melihat bundanya bersungguh-sungguh dan mencoba menahannya, lemah hati Yusuf sehingga diturutkannya kehendak bundanya menunda berangkat beberapa hari.”(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 63)
...............................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Yusuf mempunyai karakter seorang yang patuh kepada orang tuanya.
..................................................................................................................................

4)      Dengan menggambarkan pikiran-pikiran tokoh
................................................................................................................................
“Sejak dari sekarang saya akan mempelajari penyakit tbc sedalam-dalamnya. Sebab kekasihku harus saya sembuhkan sendiri.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 171)
................................................................................................................................
Dari kutipan diatas, tokoh yusuf menggambarkan karakter seorang yang peduli terhadap orang yang dicintainya dengan selalu berusaha untuk membuat Maria sembuh kembali seperti sediakala meskipun sulit rasanya untuk membuat Maria itu sembuh kembali.
.................................................................................................................................

  •   Tokoh Raden Wiriaatmaja (Ayah dari Tuti dan Maria)
Wiriaatmaja mempunyai karakter seorang yang memegang teguh agama, baik, penyayang, pasrah, dan memberikan kebebasan terhadap anaknya.
..................................................................................................................................
Ø  “Memaksa anaknya itu menurut kehendaknya itu tiada sampai hatinya, sebab sayangnya kepada Tuti dan Maria.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 3)
..................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Wiriaatmaja mempunyai karakter seorang yang penyayang terhadap anaknya yang bernama Tuti dan Maria.
..................................................................................................................................

  •   Raden Partadiharja (Adik ipar Wiriaatmaja)
Partadiharja mempunyai karakter seorang yang peduli, perhatian dan teguh terhadap pendiriannya.
.............................................................................................................................
Ø  “Saya tidak mengerti sekali-kali bagaimana pikiran Saleh, maka ia minta berhenti dengan tiada bicara lagi dengan famili.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 29)
Ø  “Tiada menurut nasehat orang tua itulah yang akhirnya terjerumus. Dan kemudian hari ia akan menyesal. coba kita lihat nanti.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 34)
...................................................................................................................................
Dari bukti kutipan diatas, tokoh Wiriaatmaja mempunyai karakter seorang yang peduli tehadap adiknya karena dia selalu memberikan nasehat supaya lebih bijak lagi dalam segala sesuatu yang sedang dihadapi.
..................................................................................................................................
  •   Tokoh Rukamah (Sepupu Tuti dan Maria)
..............................................................................................................................
 “Ketika itu tiba-tiba teringat kepadanya akan mengganggu Maria. Lekas diputarnya kenop lampu listrik dan bergesa-gesa ia masuk ke dalam lain berkata dengan suara yang sungguh-sungguh, “Maria, Maria, itu dia datang!”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 84)
...............................................................................................................................
Dari kutipan diatas, tokoh Rukamah mempunyai karakter seorang yang suka bercanda atau suka mengganggu terhadap orang-orang yang dikenalinya semisal Maria.
................................................................................................................................
  •   Tokoh Istri Partadiharja
Tokoh Istri Partadiharja mempunyai karakter seorang wanita yang baik dan penyayang terhadap sanak keluarganya.
............................................................................................................................
Ø  “Ialah adik Wiriaatmaja yang muda sekali, ada kira-kira tiga puluh dua tahun usianya. Badannya gemuk dan besar, mukanya bundar seperti bulan penuh, tiada berdagu. Meskipun air mukanya agak angkuh, rupanya dan kata-katanya teliti tertahan-tahan seperti seringnya perempuan priyai yang merasa harga dirinya, tetapi yang matanya yang terkecil sedikit nampaknya pada mukanya muanya itu, terang menyinarkan perasaan kasih sayang.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 103)
.................................................................................................................................

  •   Tokoh Ratna (Istri Saleh)
...............................................................................................................................
Ø  “Sebab meskipun dengan bersahaja Ratna selalu berkata, bahwa makanan yang dapat di sajikannya kepada mereka hanyalah makanan orang tani didesa, sesungguhnya mereka berdua dimanjakannya.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 184)
Ø  “Tiada memedulikan kata Ratna itu, sambung Tuti, “Pandai benar engkau melukiskan kegirangan orang tani melihat padinya mulai berkembang, membangkitkan harapannya akan hasil tenaganya. Baik serupa itu, kalau sering engkau menulis, lambat laun tentu ada juga orang kota yang tertarik menjadi tani!” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 189)
.............................................................................................................................
Dari kutipan diatas, tokoh Ratna mempunyai karakter seorang yang baik hati yang selalu memberikan yang terbaik kepada orang lain dalam memberikan suatu hal. Selain itu Ratna juga pandai memberikan semangat kepada para petani. Lewat artikel-artikel yang dia tulis  supaya orang-orang yang berada di kota tertaik untuk membeli hasil panen petani Sidanglaya Jawa barat.
............................................................................................................................
  •   Saleh (Adik Partadiharja)
..............................................................................................................................
Ø  “Yang telah mulai terbayang-bayang kepada saya sekarang ialah mengadakan organisasi penjualan kembang, supaya kami dapat harga yang baik bagi kembang kami. Supaya kami jangan dipermain-mainkan tengkulak atau toko-toko kembang di Jakarta.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 189)
................................................................................................................................
Kutipan diatas menjelaskan bahwa saleh akan membentuk suatu organisasi dalam menampung atau menghimpun hasil panen para petani yang akan dijual. Tujuannya suapaya para petani menjual hasil panennya dengan harga yang tinggi dan tidak dipermainkan oleh bandar atau tengkulak serta para penampung lain yang membeli secara besar-besaran. Jadi  berdasarkan kutipan diatas tokoh saleh memiliki karakter seorang yang mempunyai jiwa kepemimpinan, pekerja keras dan peduli terhadap orang-orang yang berada disekitar lingkungannya.
  •   Juru Rawat (Perawat Maria)
...............................................................................................................................
Ø  “Juru rawat yang sangat baik hati dan peramah terhadap kepadanya itu.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 163)
...............................................................................................................................
Ø  “Kepada Maria juru rawat yang baik budi itu berkata membesarkan hati, “Sekarang tinggal kita saja lagi. Kita akan dapat main dan lagi seperti dahulu. Benar tidak, Maria?” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 196)
...............................................................................................................................
3.6 Latar atau setting
3.6.1 Tempat
1)      di Pasar Ikan
“Sekarang pada hari Minggu, kedua bersaudara itu pergi melihat-lihat akuarium di Pasar Ikan” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 4)
2)      di dekat pohon asam yang rindang
“Perlahan-lahan turunlah keduanya dari sepeda dan menepi dekat pohon asam yang rindang daunnya sebelah kiri jalan.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 21)
3)      di bawah pohon Mangga
“Tuti duduk membaca buku di atas kursi kayu yang lebar di bawah pohon mangga di hadapan rumah sebelah Cidengweg.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 25)
4)      di Gedung Permufakatan
“Orang banyak yang kusut kacau berserak dalam Gedung Permufakatan selaku tiba-tiba dikuasai oleh suatu tenaga gaib.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 39)
5)      di serambi depan rumah
“Pada suatu petang ketika ia sedang membalik-balik koran ayahnya di serambi depan, datanglah opas pos membawa setumpukan surat dan koran.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 51)
6)      di Tepi Pantai
“ Sudah itu pergi berjalan-jalan ke tepi pantai.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 55)
7)      di Poliklinik
“...Tiba di Keroi, Sukarto pergi ke poliklinik tempat ia mengobat orang sakit. Yusuf mengikutinya melihat-melihat sebentar di poliklinik yang sangat bersahaja itu.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 55)
8)      di  Kamar
“Sejak dari sudah makan pukul delapan tadi Tuti mengetik dalam kamarnya.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 89)
9)        di air Terjun Dago
“...Kedua-duanya takjub melihat ke hadapan, kepada air terjun Dago yang gemuruh bersorak terjun iri atas tebing yang rapat....”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 73)

10)      di Ruang tengah
“Melihat Tuti di ruang tengah, Yusuf menghentikan bicaranya dan memberi tabik kepadanya.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 129)
11)      di  C.B.Z (Rumah Sakit)
“Maria sudah dua hari tinggal di C.B.Z. Penyakit malarianya terang ditambah oleh penyakit batuk darah yang tiba-tiba memecah keluar.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 153)
12)    di tempat pemakaman umum
“....Dan kepermaian kuburan di tempat yang sunyi sepi itu selaku digembirakan....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 199)

3.6.2.1 Latar Waktu
1. Bulan Mei
          Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      “Akhir bulan Mei sekaliannya akan selesai. Sesudah itu barang kali saya akan pergi ke Bandung mengunjungi saudara mendiang ibu disana serta akan melepaskan lelah.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 22)
2. Bulan juli
            Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      “Jadi pada permulaan bulan juli ini engkau bekerja sekali,”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 103)
3. Bulan Desember
            Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      “Bulan Desember ini biasanya amat banyak diadakan orang kongres.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 156)
      4. Pagi hari
            Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      Merekalah tamu yang mula-mula sekali tiba di gedung akarium pagi-pagi itu..” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 4)
2)      Keesokan harinya pagi-pagi sebelum setengah tujuh....”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 16)
3)      Sejak pagi-pagi tiada berhenti-henti hujan turun, bersama-sama dengan angin      kuat yang menyentak-nyentak.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 169)
4)      “Pagi bersinar di lereng Gunung Gede.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 158)   
                 
      5. Siang Hari
            Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      Kira-kira pukul sebelas tengah hari, bertolaklah yusuf dengan auto ayahnya          menuju kearah danau.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 52)

            6.  Sore hari
            Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      ”...biasanya benar ia ia duduk berangin-angin menanti hari senja”
      (St. Takdir Alisjahbana, 2006:25)
2)      ”....berbunyi beduk magrib sayup-sayup..” (St. Takdir Alisjahbana, 2006:35)
3)      Petang-petang hari biasanya ia berjalan-jalan dengan dahlan....”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006:50)
4)      “Sore sampailah ia dekat danau rinau....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006:53)
5)      Matahari hampir tenggelam dibalik gunung Tanah Pasundan.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 92)

            7.  Malam hari
            Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      “Waktu makan malam Yusuf mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia lima hari lagi akan berangkat ke jakarta..” (St. Takdir Alisjahbana, 2006:63)
2)      ”Di dalam kesunyian malam yang mesra...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006:95)
3)      ” Pada malam minggu, Tuti duduk...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006:126)

3.6.2.3 Latar Sosial
a.      Lingkungan Pendidikan Tinggi
1)      “....Tuti menjadi guru pada Sekolah H.I.S. Arjuna di Petojo.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 4)
2)      “...Zus sekolah H.B.S Carperititer Altting Stichting.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 10)
3)      ....Anak muda, setuden Tabib tinggi..” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 10)
4)      “Sekolah mulai setengah delapan, alangkah lekasnya Zus pergi ke sekolah.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 17)

b.      Lingkungan Ekonomi Tinggi
1)      “Yusuf putra Demang Munaf di Martapura di Sumatra Selatan. Telah hampir lima tahun ia belajar pada Sekolah Tabib Tinggi....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 16)
2)      Tidakkah engkau senang Engkang sekarang sudah bekerja selama itu mendapat pensiunan yang tetap, sehingga sentosa-sentosanya....”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 31)

  c.       Lingkungan intelektual
1)      Sesungguhnya dalam beberapa hal ia asik memikirkan bermacam-macam soal, kepalanya dipenuhi kongres Putri Sedar. (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 11)
2)      Sebagai salah seorang pemimpin perkumpulan itu yang terkemuka, lain dari pada pengurus itu, ia asik membaca dan menulis dirumah untuk menyiapkan pidatonya. (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 11)
3)      “Saya menghadiri kongres itu dahulu sebagai wakil pedoman besar Putri Sedar Bandung.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 13)
4)      “Perkumpulan pemuda itu ialah sekolah bagi kita, tempat kita belajar bekerja bersama-sama untuk kepentingan banyak.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 19)

3.5.2.4 Latar Suasana
a.      Keramaian
            Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      “Dan di dalam gedung akuarium itu mulailah ramai suara manusia.
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 6)
2)      ”Maka segala kendaraan yang berhenti tiada bergerak-gerak menanti itu sibuk kembali.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 21)
3)      Beberapa lamanya Yusuf dan Maria memandang kepada kesibukan kendaraan     yang banyak itu.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 21)
4)      “Orang yang banyak yang kusut kacau berserak dalam Gedung Permufakatan.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 39)

b.      Romantis
     Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      “....Maria, Maria, taukah engkau saya cinta kepadamu?”
Badan Maria melemah jatuh ketangan Yusuf dan seraya menengadah dengan pandangan penyerahan...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 80)

c.       Tegang
            Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      ”Tetapi Partadiharja yang masih kesal hatinya,segera menjawab...”
      (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 33).
2)      “Engkau tak usah memperdulikan urusan saya! Saya tidak minta nasehatmu galak melawan....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 88)
3)      “Muka Tuti memerah sampai ketelinganya mendengar kata maria yang pedas itu...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 88)
4)      “Darah, yusuf, darah ! mana bapak mengapa adikku demikian?...”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 149)
5)      “Rupanya sangat mencemaskan, saya sesungguhnya takut....”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 178)

d.      Hikmat
     Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      ”.....Maka dipersilahkan pembicara tampil ke muka. Baru habis ucapan ketua         itu, memecahlah di tengah-tengah kesunyian itu tepuk orang yang amat riuh       nya.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 40)
2)      Tiap-tiap perkataan yang diucapkan dengan penuh kegembiraan, penuh semangat itu, meresap kepada segala yang hadir...”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 42)

e.       Ketenangan
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
            1.)”.....Beberapa lama yusuf tafakur berdiri di tengah-tengah ketenangan dan kesentosaan alam...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 56)
2)     “Hari masih pagi-pagi dan dipekuburan dekat pacet, tiada beberapa jauh dari rumah sakit, sunyi senyap. Tempat manusia melepaskan lelahnya sesudah perjuangan hidupnya itu...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 198)

f.       Kalut
     Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan dibawah ini:
1)      “Engkau sakit Maria....!” suara terang menyatakan bahwa ia agak khawatir melihat rupa maria ketika itu.  (St. Takdir Alisjahbana 2006: 74)
2)      ”Tuti terkejut mendengar maria batuk dan Yusuf seperti kecemasan.....”
      (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 148)

g.      Haru
     Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini:
1)     “O, Yusuf, mengapakah dalam amat sering memikirkan mati. Mungkinkah saya ini sembuh lagi?....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 160)

2)     “Dalam menulis, menurutkan pikirannya yang tiada berketentuan itu, Maria tiada dapat menahan hatinya lagi. Dengan tiada diketahuinya air matanya jatuh mengalir pada pipinya dan menitik ke atas kertas...”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 162)

3)      ”Alangkah bahagia saya rasanya diakhirat nanti, kalau saya tahu bahwa    kakandaku berdua hidup rukun...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 195)

4)      ”beberapa lamanya Tuti dan Yusuf berdiri tiada bergerak-gerak, laksan      terpaku pada tanah yang pemurah itu, yang senantiasa tulus dan ikhlas      menerima.........” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 200)

3.5.3 Titik Pengisahan Atau Juru Cerita
            Dalam novel Layar terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana titik pengisahan yang dipergunakan oleh pengarang adalah sebagai pengamat (dengan ciri pengarang ber “ia” atau menyebut nama tokoh masing-masing). Adapun jenisnya yaitu menggunakan titik pengisahan Maha tahu.
            Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini:
  “....Ia mengunjungi gedung akuarium itu selaama ia di Jakarta..”
        (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 4)
 “...ia pun berkata.” Ya,bagus...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006:4)
 “.......ia tahu bahwa ia pandai bercakap serta banyak yang akan di kerjakakannya....”  
    (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 5)
“.....ia melalui tuti dan maria yang sedang asik melihat ikan...”
     (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 7)
 "ia mendekat dan seraya di belaai-belaainyaa rambut yang halus...”
    (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 7)
 “.....Ia asyik membaca dan menulis dirumah untuk menyampaikan pidatonya.”
    (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 11)
 "...Mendengar itu Yusuf berpikir dan berkatalah ia...”
   (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 13)
   “Ia tiada mengerti apa tujuan ucapn Tuti....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 15)
  ”Yusuf ialah putra Demang Munaf.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 16)
  “Maria kepadanya kelihatan lebih cantik...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 17)
  “ia menjabat ketua cabang jakarta sekarang ini...”(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 18)
  " Tuti duduk membaca buku.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 25)
  “Ia pun duduk pula bersama-sama... (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 28)
 "Ia sudah tahu bahwa percakapan....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 31)
 “...Ia akan dapat menarik pemuda-pemuda yang belum merasakan kecemasan...” 
     (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 35)
 “...ia melihat kepada rapat seolah-olah hendak mempersaksikan kesakitan palu..” 
      (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 39)
  “Ia berdiri diatas mimbar....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 40)
“ia baru insaf akan dirinya kembali..” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 52)  
 Ia pulang ke Pagar Alam, sebab ayahnya menjadi Demang di sana.”
      (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 53)
“Ia baru bangun tidur..” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 65)   
"....Terang terbayang di matanya perjalanan mereka pergi ke Dago tiga hari yang lalu. Sekaliannya masih nampak kepadanya air mancur yang gemuruh terjun ke dalam jurang, jalan yang lindap dilingkupi daun bambu yang berdesir-desir. Yusuf menyatakan cintanya kepadanya dan dicobanya mengingatkan perasaan nikmat....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 83)
”Maria tiada juga berkata-kata..” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 86) 
"...Tetapi tiba-tiba ia tertangkap akan pikirannya sendiri dan dengan jelas dan nyata ia menyelidik hatinya, “Irikah ia akan adiknya itu?” “Tidak, tidak mungkin,” katanya dalam hatinya dan dengan tiada diketahuinya di dalam kegelapan kamarnya itu, ia menggelengkan kepalanya. (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 97)
        “Ia tidak akan hendak menghambakan..” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 98)
“ia meraba-raba akan mencari tempat berjejak...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 98) 
 “Ia pun tersenyum melihat kepada Maria...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 98)
 “ia pun duduk perlahan di kursi besar..” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 103)
 “Ia pun tersenyum melihat Kepada Maria...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 104)
 “..ia melihat kepada kakanya ia berkata...” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 105)

3.7    Gaya Bahasa
Di dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana banyak di temukan gaya bahasa. Novel ini menggunakan bahasa Melayu sehingga terlihat agak sulit untuk dimengerti.
                             Gaya bahasa yang banyak digunakan pengarang dalam memperkuat cerita novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah sebagai berikut:

            1. Personifikasi
       Gaya Bahasa Personifikasi, semacam gaya bahasa kiasan yang mengambarakan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (Keraf, 2010 : 140)
Kutipan:
1)       “Anaknya yang bungsu itu oleng berlari-lari takut biji matanya itu jatuh.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006:3)

2)      Gadis berdua itu adik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya. (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 3)

3)      “Perbedaan sifat dan pekerti yang sebagai siang dan malam, tiadalah berapa merenggangkan tali ilahi yang tela memperhubungkan orang berdua beradik itu.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 5)

4)      “Ia pun memandang ke tengah laut tempat ombak menggulung tinggi akan memecah, terus jauh ke tengah tempat alun berkejar-kejaran menuju ke daratan dan akhirnya sampai kepertemuan langit dan air, tempat kedua-duanya menjadi biru kabur.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 55)

5)      “...matanya memandang menyinarkan kekaguman..”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 71)

6)         “Di hadapan mengalir anak air yang deras, riang berirama girang-girang berpendar-pendar, dibelakang berbuai-buai daun bambu sayu merdu berbisikan cerita....” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 81)

7)        “Badannya yang gemuk dan bundar seperti bulan penuh. Meskipun air mukanya agak angkuh, rupanya dan katakatanya teliti....” (St. Takdir alisjahbana, 2006: 103)

      2. Litotes
          Gaya Bahasa Litotes merupakan ungkapan yang berupa mengecilkan fakta dengan merendahkan diri.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini:
1)    “Sebab meskipun dengan bersahaja Ratna selalu berkata, bahwa makanan yang dapat disajikannya kepada mereka hanyalah makanan orang tani di desa, sesungguhnya mereka berdua dimanjakannya.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 184)

        3.  Hiperbola
       Hiperbola adalah suatu gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar besarkan suatu hal.  (Keraf, 2010 : 135)
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini:
1)       “Tetapi baru saja Tuti bergerak meninggalkan mimbar menuju ke tempat duduknya, meletuslah sebagai petir yang telah lama terkurung dalam mega yang hitam berat, bunyi tepuk beribu manusia yang hadir sehingga gedung yang besar itu selaku gegar rupanya.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 49)

2)      “…bahwa tiap-tiap manusia harus menjalankan penghidupannya sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan pun harus mencari bahagianya dengan jalan menghidupkan sukmanya.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 56)

3)      “…saya tahu sejak lahirnya Bapak menamakan dirinya orang Islam, tetapi nama itu baginya hanya nama pusaka. Sebagai pusaka boleh juga ia menempel kepada saya, tetapi saya tiada akan menyebut-nyebutnya sebelum ia berdebat sebenar-benarnya dalam hati saya. Sebab bagisaya rupa yang lahir itu harus sesuai dengan isinya, di dalam.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 38)

4)      “…perempuan yang dicita-citakan dalam Putri Sedar bukanlah perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai hamba dan sahaya, tetapi sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang tidak usah takut dan minta dikasihani. Yang tiada suka melakukan yang berlawanan dengan kata hatinya, malahan yang tiada hendak kawin, apabila perkawinan itu…’’ (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 48)

5)      “…Hormat akan keberaniannya ketetapan hatinya, hormat akan ketajaman pikirannya, hormat akan kegembiraannya berjuang dan berkorban bagi yang terasa kepadanya mulia dan suci. Pada yang seorang lagi perasaan hormat itu diganti oleh perasaan yang gaib yang tiada terkatakan; oleh perkataannya yang bersahaja oleh gerak badannya dan cahaya mukanya yang tiada ditahan-tahan, oleh suaranya yang mesra mencumbu dan pandangan matanya yang membelai menyinar kagum.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 72)

6)      “…Remuk dan hancur rasa hatinya terbuai dalam perjuangan jiwanya. Tetapi akhirnya terang dan jelas pendiriannya sebagai karang yang perkasa menganjur di atas gemuruh gelombang. Tiada ia akan kawin apabila perkawinan itu hanya sekedar untuk lari dari kesunyian. (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 201)

         4. Parabel
          Gaya bahasa parabel merupakan ungkapan pelajaran dan nilai tetapi dikiaskan atau di samarkan dalam cerita.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini:
1)       “Sandiwara Sandhyakala ning Majapahit.” (St. Takdir Alisjahbana, 2006 : 119)

       3.8 Amanat
1)      Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
2)       Jangan mudah berputus asa dan terus berjuang untuk mempertahankan dan menggapai cita-cita.
3)        Manusia boleh berencana tapi Tuhanlah yang menentukan atau memutuskan.
4)      Menjadi perempuan yang sejajar dengan kaum laki-laki memang tidak salah, namun kita juga harus ingat kodrat antara perempuan dan laki-laki pasti ada bedanya. Karena perempuan dan laki-laki diciptakan untuk saling melengkapi.
5)      Sikap konsisten terhadap apa yang kita bicarakan dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah bukti nyata dari rasa tanggung jawab apa yang kita ucapkan.
6)       Cinta dan pengorbanan kadang selalu berjalan seiring.
7)      Dibalik kelebihan seseorang terdapat kelemahan.

3.8.1 Amanat Khusus
1.      Tentang Moral
1)      “ya, saya pun tidak percaya akan hal itu. Kalau sesungguhnya dapat kita sesuatu oleh bernazar, maka di dunia ini tentu telah lama menjadi surga. Tak ada lagi orang yang berkekurangan, tak ada lagi orang yang sakit dan mati.
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 12)

2)      “....Takhayul amat dalam membusuk di daging manusia..”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 12)

3)      “.....dalam dua tahun terakhir ini sejak Tuti mengurus rumah dan dirinya, perlahan-lahan tumbuh dalam hatinya sesuatu perasaan hormat kepada kekerasan hati dan ketetapan pendirian anaknya yang tua itu.”
 (St. Takdir Alisjahbana, 2006: 14)

4)      “Menjadi guru?, baik benar pekerjaan itu mendidik kanak-kanak bangsa kita.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 22)

5)       “....Manusia yang sesungguhnya manusia yang hidup semangat hatinya dan ke segala penjuru mengembangkan kecakapan dan kesanggupannya untuk keselamatan dirinya dan untuk keselamatan peraulan.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 48)

6)      “Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tidak mempunyai hak.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 42)

7)      “....bahagia itu ialah dapat menurutkan desakan hatinya dapat mengembangkan tenaga dan kecakapannya sepenuh-penuhnya, dan menyerahkan kepada yang terasa kepadanya yang terbesar dan termulia dalam hidup ini.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 31)

8)      “....Tumbuh keinsafan dalam hatinya, lain dari pada lingkungan pekerjaannya sehari-hari, lain dari pada partai dan teman sejawatnya dan lain dari pada cita-citanya yang menjadi deburan jantungnya yang gembira ada lagi dunia yang lain, yang selama ini di jauhinya, akan hakekatnya yang sebenarnya.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 35)

9)      “....Hidup didunia ini sebagai persatuan keindahan. Dalam persatuan keindahan itu bukanlah lenyap perjuangan, tetapi perjuangan itu tersuci menjadi lebih mulia, sebab ia terlangsung bukan semata-mata karna berebut pengaruh atau kekuasaan, tetapi seperti kordat alam yang selalu mencari kesetimbangan yang lebih tinggi drajatnya dalam susunan keindahan persatuannya.”

2.      Tentang Sikap Spiritual
1)      “....ketika bunyi bedug saayup-sayup di bawah angin dari kampung jauh di sebelah timur, wiriaatmaja masuk pula meninggalkan anak-anak muda bertigaa itu di halaman, akan pergi sembahyang.”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 35)

2)      “Ya, sekarang bapak rajin benar mempelajari agama...”
(St. Takdir Alisjahbana, 2006: 35)
 


                                                                           BAB IV
SIMPULAN
            Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan penulis pada novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dapat disimpulkan sebagai berikut.
1)      Tema dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah tentang perjuangan wanita Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Dalam novel layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian dapat disimpulkan bahwa STA lebih menekankan pada tema percintaan.
2)      Alur/Plot yang terdapat dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian, berdasarkan urutan peristiwa dari awal sampai akhir maka dapat dikatakan sebagai alur konvensional atau tradisional, secara kualitatif susunan alur/plot novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah alur atau plot erat, secara kuantitatif susunan alur/plot novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah alur atau plot tunggal. Dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian dapat disimpulkan bahwa SutanTakdirAalisjahbana memilih alur/plot konvensional dalam menggambarkan cerita, secara kualitatif alur/plot tersebut adalah alur/plot erat, dan secara kuantitatif alur/plot tersebut adalah alur/plot tunggal.
3)        Tokoh dan perwatakan yang terdapat dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian, adalah sebagai berikut.
a.       Tuti sebagai tokoh utama dengan perwatakan seorang yang tidak mudah kagum, tidak mudah heran, jarang memuji, pandai berbicara, tegas, teliti, pendiam, kukuh pendirinanya dan mempunyai pemikiran yang tajam.
b.      Maria sebagai tokoh Penentang dengan perwatakan seorang yang Mudah kagum terhadap suatu hal, mudah memuji dan memuja, rajin, mudah tersenyum, periang, lincah, suka berbicara, ucapannya sesuai dengan perasaanya yang ceria.
c.        Yusuf sebagai tokoh bahawan dengan perwatakan seorang yang ramah, baik, penyayang, setia, patuh, tidak sombong, pandai, peduli berjiwa nasionalis dan menyukai alam.
d.      Raden Wiriaatmaja sebagai tokoh bawahan dengan perwatakan seorang yang penyayang.
e.       Raden Partadiharja sebagai tokoh bawahan dengan perwatakan seorang yang peduli, perhatian, dan teguh terhadap pendiriannya.
f.       Istri Partadiharja sebagai tokoh bawahan dengan perwatakan baik hati dan penyayang.
g.      Rukamah sebagai tokoh bawahan dengan perwatakan seorang suka mengganggu.
h.      Ratna sebagai tokoh dengan perwatakan pintar, pandai, peduli dan berjiwa sosial
i.      Saleh sebagai tokoh bawahan dengan perwatakan mempunyai pemikiran yang tajam, pekerja keras dan berjiwa sosial.
j.        Juru rawat sebagai tokoh bawahan dengan perwatakan ramah dan baik hati.
4)    Latar/setting yang terdapat dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah sebagai beikut:
a.       Latar tempat; di pasar, pohon asam yang rindang, di gedung permufakatan, di serambi depan rumah, di tepi pantai, di poliklinik, di kamar, di ari terjun Dago, di rumah tengah, di C.B.Z (Rumah sakit), dan di tempat pemakaman umum.l
b.      Latar waktu; Bulan Mei, Bulan Juni, Bulan Desember, pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari.
c.       Latar Lingkungan; lingkungan pendidikan tinggi, lingkungan Intelektual, dan Ekonomi menengah.
d.      Latar Susana; suasana keramaian, suasana romantis, suasana tegang, suasana hikmat, suasana, ketenangan, suasana kalut, dan suasana haru.
Dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum terdapat dua belas latar tempat, tujuh latar waktu, tiga latar lingkungan dan tujuh latar suasana.
5)      Titik Pengisahan yang terdapat dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian dapat disimpulkan sebagai pengamat dengan titik pengisahan Maha Tahu.
6)   Gaya pengarang dan gaya bahasa yang terdapat dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian, jika ditinjau dari gaya pengarang, gaya pengungkapannya menggunakan bahasa Melayu sehingga maknanya sedikit sulit untuk di pahami. Sementara jika ditinjau dari gaya bahasa yang digunakan terdiri dari, gaya bahasa, personifikasi, litotes, hiperbola dan parabel.
7)    Amanat yang terdapat dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah; Menjadi perempuan yang sejajar dengan kaum laki-laki memang tidak salah, namun kita juga harus ingat kodrat antara perempuan dan laki-laki pasti ada bedanya. Karena perempuan dan laki-laki diciptakan untuk saling melengkapi.
  



DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga).
            Jakarta: Balai Pustaka.
Keraf, Gorys. (1994). Komposisi.
            Jakarta: Nusa Indah.
Nierenberg, Gerald. I. & Calero, Hendri. I. (2012). Membaca Pikiran Orang Seperti Membaca Buku. Jogjakarta: Think.
Nurgiantoro, Burhan. (2010). Teori Pengkajian Fiksi.
            Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pusat Bahasa Depdiknas. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga).
            Jakarta: Balai Pustaka.
Sobur, Alex. (2011). Psikologi Umum.
            Bandung: Pustaka Setia
Sugiantomas, Aan. (2012). Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra Indonesia.
            Kuningan: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Sugiantomas, Aan. (2013). Kajian Prosa Fiksi dan Drama.
            Kuningan: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Waluyo, Herman. J. (1987). Teori dan Apresiasi Puisi.
            Jakarta: Gramedia
Wellek, Rene & Warren, Austin. (1989). Teori Kesusastraan.
            Terj Melani Budianata. Jakarta: Gramedia